Entri Populer

Minggu, 26 Juni 2011

Hadis Prespektif Akidah Dan Syari`ah

BAB I

PENDAHULUAN

Hadits merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Hadits dalam pengertian yang luas mencakup segala yang disandarkan kepada Rosulullah SAW, kepada sahabat, dan kepada tabi’in.[1] Dengan demikian hadits merupakan pedoman bagi umat Islam di dalam menjalankan ajaran agamanya, baik dari segi aqidah, syariah maupun segi – segi lainnya.

Namun demikian perlu dicermati bahwa tidak semua hadits dapat dijadikan pedoman, mengingat periode perkembangan hadits dan macam – macam hadits. Umat Islam hendaknya mampu membedakan mana hadits yang mutawatir, hadits ahad, hadits yang maqbul maupun yang mardud dan lain – lainnya. Untuk mengkaji secara lebih rinci akan diuraikan pada bab II, yaitu pada pembahasan dikhususkan pada kandungan hadits ditinjau dari aqidah dan syariah.

Sesuai dengan judul makalah yaitu “Hadits dan kandungannya ditinjau dari aqidah dan syaria’ah”, maka secara berturut – turut akan diuraikan hal – hal sebagai berikut :

A. Pengertian hadits

B. Kedudukan hadits sebagai dasar hukum dalam aqidah dan syari’ah

Demi kesempurnaan makalah ini, penulis menyadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu saran, kritik membangun dari teman – teman peserta Program Pascasarjana STAIN Tulungagung dan pembaca pada umumnya, terutama arahan dan bimbingan dari beliau yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Zainul Arifin, M,Ag selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Studi Hadits sangat diharapkan, dan tidak lupa sebelum dan sesudahnya diucapkan terima kasih

Wallohu a’lam bissowab (Penulis, Akhmad Mukhisn NIM. 3241074002)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Untuk mendapatkan pengertian hadits secara lebih luas, dibawah ini dikemukakan pendapat – pendapat di antaranya, yaitu :

1. Budiono, dalam kamusnya, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, halaman 176, dikemukakan bahwa hadits adalah riwayat yang bertalian dengan sabda dan perilaku Nabi Muhammad SAW; sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat – sahabatnya (untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam); sumber ajaran agama Islam yang kedua setelah Al-Qur’an .

2. Munzier Suparta dalam bukunya “Ilmu Hadits” menyebutkan bahwa hadits menurut bahasa Al –Jadid juga berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah (terminologi) para ahli mendefinisikan berbeda – beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Menurut ahli hadits, pengertian hadits ialah segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Hal ihwal di sini berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan – kebiasaannya.

Pengertian secara sempit, hadits dapat diartikan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat beliau. Sedangkan secara luas bahwasannya “hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauguf yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu, yaitu disandarkan kepada tabi’in”. [2]

Sementara itu para ulama’ ushul memberikan pengertian hadits adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.

Berdasarkan uraian pendapat yang dikemukakan di atas dapat diambil simpulan mengenai pengertian hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW (secara sempit), bahkan secara luas dapat dipahami hadits itu tidak semata terbatas yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan juga kepada para sahabat atau sampai tabi’in.

B. Kedudukan Hadits Sebagai Dasar Hukum Dalam Aqidah dan Syari’ah

Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Para ahli menguraikannya dalam tujuh masa / periode perkembangan yaitu : 1) periode pertama ialah masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar – dasarnya (masa Nabi SAW), 2) periode kedua, membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat (Masa Khulafaur Rosyidin). 3) Periode ketiga penyebaran riwayat ke kota – kota (masa sahabat kecil dan tabiat besar). 4) Periode keempat, yaitu periode penulisan dan kalifikasi resmi (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 – 102 H) / 717 – 720 M). 5) Periode kelima, periode pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan (masa awal abad ke – 3 H – akhir abad ke – 3 H). 6) Periode keenam, periode pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan (masa mulai abad ke – 4 H s/d jatuhnya kota Bagdad (656 H / 1258 M) atau masa Mutahodimin (pendahulu) dan sesudahnya disebut muta’akhirin. 7) Periode ketujuh, yaitu periode pensyarahan, perhimpunan, pen-takhrijan atau pengeluaran riwayat dan pembahasan, masa jatuhnya kota Bagdad sampai sekarang (Jatuhnya Abasiyah / Bagdad ke pasukan hulagu Khan (656 H / 1258 H).

Mengacu pada uraian sebelumnya tentang macam – macam hadits, sudah barang tentu yang memenuhi syarat yang dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum baik dalam aqidah, syariah atau lainnya. Aqidah dalam pengertian keyakinan, keimanan atau yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Sedangkan syareat hadits – hadits yang mengatur tentang hukum syari / hukum – hukum agama, misalnya fiqih, muamalat atau lainnya.

Dibawah ini dikemukakan sebuah hadits yang berhubungan dengan muamalah yaitu tentang jual beli.

Artinya : “Dari Abdullah Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah telah melarang jual beli buah – buahan sebelum nampak kebaikannya, baik yang menjual maupun yang membelinya”. (Riwayat al – Bukhori).

Kandungan hadits di atas kurang lebih adalah (1) orang- orang pada masa Rasulullah SAW menjual belikan kurma atau menjual kebun kurma mereka sebelum nampak matang buahnya, atau aman dari kerusakan, bahkan nampak buahnya itu rusak dan jelek apabila dipetik yang akhirnya para pembeli tidak menemukan buah – buahan yang disenanginya, (2) Jual beli yang semacam itu menyebabkan terjadinya pertengkatan di antara penjual dan pembeli, sehingga sering terjadi permusuhan, (3) Larangan Rasulullah SAW itu dimaksudkan agar dari jual beli buah – buahan tersebut terjadi ta’arum karena saling menolong untuk mencukupi kebutuhan mereka., (4) Sebagian para ulama menetapkan bahwa jual beli yang seperti itu hukumnya batal, sedangkan sebagian lagi menunjukkan boleh.

Selanjutnya dikemukakan sebuah hadits tentang keimanan dalam kehidupan, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad dan al – Nasai dari Anas, yaitu :


Artinya : “Dari Anas RA dari Nabi SAW bersabda : tidak akan sempurna iman salah seorang kamu sekalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Al – Nasai).

Kandungan hadits tersebut di atas kurang lebih adalah :

1. Salah satu tanda keimanan yang benar adalah pandangan bahwa dirinya itu merupakan bagian dari masyarakatnya. Manfaat bagi dirinya manfaat juga bagi lainnya, mudharat bagi dirinya, mudharat juga bagi lainnya.

2. Jika seorang mencintai dirinya tetapi tidak mencintai orang lain bahkan menghasutnya atau menjadikan iri hati terhadap lainnya, maka akan menafikan keimanannya.

3. Kecintaan terhadap orang lain, merupakanpenyempurnaan keimanan seseorang. Sempurnanya keimanantidak bisa dicapai kecuali dengan kecintaan terhadap lainnya, bahkan terhadap binatang dan lingkungannya.

C. Macam – Macam Hadits

Macam – macam hadits, terdapat banyak pendapat para ahli bergantung dari sudut mana hadits itu dikaji, diantaranya :

1. Berdasarkan bentuknya, hadits mencakup lima hal, yaitu a) hadits qouli, b) hadits fi’li, c) hadits taqriri, d) hadits hammi dan e) hadits ahwali. Hadits qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan / ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, keadaan yang berkaitan dengan aqidah, syariah, akhlak maupun lainnya. Contohnya, hadits yang bermakna : “Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca Fatihah Al – Kitab (HR. Muslim) “.

Hadits fi’li adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Contohnya, hadits yang bermakna “Sholatlah kalian sebagaimana kalianmelihat aku sholat (HR. Bukhori)”. Hadits taqriri adalah segala hadits yang berupa ketetapan Nabi SAW, terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Hadits hammi adalah hadits yang berupa cita – cita atau hasrat Nabi SAW yang belum dilaksanakan karena Rosulullah SAW wafat sebelum cita – cita / hasrat itu ditunaikan. Seperti halnya keinginan beliau berpuasa pada tanggal 9 Asyura. Selanjutnya hadits ahwali ialah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang menyangkut keadaan fisik, sifat – sifat dan kepribadian beliau.

2. Berdasarkan Segi Kuantitasnya

Yang dimaksud segi kuantitasnya di sini adalah dengan menelusuri jumlah perowi yang menjadi sumber adanya hadits. Berdasarkan kuantitasnya hadits dibedakan menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.

“Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat hadits sampai kepada Nabi Muhammad SAW), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para rowi hadits itu mustahil bersekongkol untuk berdusta.”[3]



Mengenai jumlah orang banyak ini, ulama’ berbeda pendapat diantaranya jumlah perowinya sekurang – kurangnya 5 orang, 10 orang, 12 orang, 20 orang, 40 orang dan bahkan ada yang mensyaratkan 7 0 orang.

Pembagian hadits mutawatir ini ada 3 macam, yaitu 1) mutawatir lafzhi, 2) mutawatir ma’nawi dan 3) mutawatir ‘amali, demikian disebutkan oleh Munzier Suparto dalam bukunya Ilmu Hadits, 2003 : 101.

Hadits ahad, (dalam Ensiklopedi Islam, 2003 : 316) disebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorang yang tidak mencapai tingkat mutawatir, dapat diriwayatkan oleh seorang atau lebih. Terdapat 2 jenis hadits ahad ini, yaitu hadits masyhur (sudah tersebar dan populer) dan ghair masyhur yang terbagi dua yaitu aziz (jarang / sedikit) dan ghorib (menyendiri perowinya).

3. Berdasarkan Segi Kualitasnya

Pembicaraan hadits ditinjau dari segi kualitasnya ini terkait erat dengan pembahasan hadits berdasarkan kuantitasnya yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits dibedakan menjadi dua, yaitu 1) hadits maqbul, yakni hadits yang dibenarkan / diterima atau dengan istilah lain hadits yang telah sempurna padanya, syarat – syarat penerimaan, 2) hadits mardud, yaitu hadits yang ditolak / yang tidak diterima atau dengan istilah lain hadits yang tidak memenuhi syarat – syarat atau sebagian syaratnya hadits maqbul.

Tidak terpenuhinya persyaratan di atas bisa terjadi pada sanad dan atau matan para ulama’ mengelompokkan hadits ini menjadi dua yaitu hadits dho’if dan hadits mandlu’. Selanjutnya dilihat dari diterima atau tidaknya dikenal 2 hadits yaitu hadits shohih (yang diterima / maqbul) dan yang ditolak yaitu hadits mardud. Dan selanjutnya diantara kedua hadits shohih dan mardud, dikenal “hadits hasan yang menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu”. [4]



4. Berdasarkan Asal atau Sumbernya

Hadits ditinjau dari sumbernya, terdapat dua hadits, yaitu hadits qudsi (Illahi / Robbani) dan hadits nabawi (Nabi). “Hadits qudsi adalah hadits yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT” [5]

Dengan kata lain hadits qudsi adalah hadits yang maknanya dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Perlu ditegaskan hadits qudsi ini berbeda dengan Al – Qur’an. Sedangkan hadits nabawi adalah hadits yang makna maupun lafalnya bersumber dari Nabi Muhammad SAW.




BAB III

PENUTUP



Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadits, pengertian secara sempit segala sesuatu yang bersandar kepada Nabi SAW, sedang secara luas hadits dapat dipahami tidak semata bersandar pada Nabi SAW, tetapi kepada para sahabat bahkan kepada tabi’in. Dan pengertian yang lain sesuai dengan disiplin ilmunya masing – masing dari sudut mana pengertian itu dikaji.

Periodisasi hadits perlu untuk dicermati, guna membantu dalam menetapkan / memilih hadits sebagai sumber hukum yang kedua dalam Islam setelah Al – Qur’an. Hukum yang menyangkut tentang aqidah masalah keimanan hamba kepada sang pencipta, keimanan pada kehidupan setelah manusia mati, termasuk adanya penderitaan (neraka) dan kurikulum surga, juga hukum yang berhubungan dengan syariah, peraturan – peraturan tentang muamalah dalam masyarakat sebagai contoh jual beli agar diperoleh kemanfaatannya bagi umat yang menjalankannya.

DAFTAR PUSTAKA





Ash, Shiddiqy, Hasbi, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta : Bulan Bintang, 1976.

Azra, Azyumardi, dkk. Eusiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar van Hoeve, 2002.

Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Karya Agung, 2005.

Dimyati, Ayat, Hadits Arba’in, (Masalah Aqidah, Syari’ah dan Aklilaq), Bandung : Marja’ , 2001.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.



[1] Munzier Suparta. Ilmu Hadits (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 254.

[2] Ibid, 3

[3] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Icktiar Van Hoeve 2002), 316

[4] Munzier Suparto, Ilmu Hadits (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 141

[5] Eusiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002), 41
Diposkan oleh memuaskan di 11:32 
0 komentar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar