Entri Populer

Minggu, 26 Juni 2011

Tafsir Tarbawi



A. Pendahuluan  M.Nur Mualif

Orang tua memiliki peranan yang amat penting dalam pendidikan anak, sebab orang tua merupakan guru yang pertama ditemui anak sejak terlahir ke dunia ini. Oleh karenanya, perkembangan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan dari orang tuanya.

Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan dari orang tua tidak hanya dibutuhkan di saat anak mampu berpikir dan tumbuh menjadi anak-anak lalu menjadi seorang remaja. Akan tetapi jauh sebelum itu, pendidikan Islam memperkenalkan pendidikan pra-nikah kepada calon orang tua. Pendidikan pra-nikah itu dimulai sejak proses pencarian jodoh, dimana calon orang tua dituntun untuk memilih pasangan dengan mengutamakan kualitas keberagamaanya lalu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya.

Islam juga mengatur tentang pernikahan yang harus dilakukan secara syah menurut syari’at; adanya kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan shīghat. Kemudian, ketika pernikahan itu telah sah, maka dibenarkan pula pasangan suami istri itu berhubungan badan. Dalam hal ini, Islam juga menuntun agar mereka melakukan hubungan badan tersebut membaca doa dengan berlindung kepada Allah SWT dari godaan setan. Tuntunan ini tentu akan berimplikasi kepada anak yang kelak mereka lahirkan. Ketika suami istri taat kepada Allah SWT dan senantiasa berdoa dan berlindung kepada Allah dari godaan setan, maka mereka akan menjadi pendidik yang baik (murabbi) bagi anak-anaknya. Selanjutnya anak tersebut akan mudah dibimbing dan dididik menjadi anak yang shaleh.

Jika sang istri telah mengandung, dimulailah suatu fase berikutnya yang disebut pendidikan pranatal. Pada fase ini, sang ayah dituntun untuk mencari nafkah yang halal untuk diberikan kepada istrinya. Demikian pula si istri diajarkan pula memakan makanan yang halal lagi baik serta merawat janinnya agar tetap sehat. Kedua orang tua ini harus meningkatkan keimanan dan ibadahnya kepada Allah SWT, memperbanyak membaca al-Qur’an dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.

Apabila telah sampai waktunya, maka si anak akan lahir ke alam dunia ini. Pada fase kelahiran ini, orang tua juga mesti melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan anak agar menjadi anak yang shaleh. Mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh kedua orang tua dalam mendidik anak di saat lahir ini, makalah yang sederhana ini akan membahas tentang aspek-aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir terbsebut.

Secara umum, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah aspek-aspek pendidikan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang tua di saat anak lahir. Agar pembahasan ini tidak terlalu luas, perlu dibatasi pembahasannya. Batasan itu berkenaan dengan aspek-aspek pendidikan dari orang tua sebelum dan sesudah anak lahir sesuai dengan petunjuk Allah dalam al-Qur’an yang didukung oleh hadis Rasulullah SAW. Jadi, meskipun dalam judul makalah ini terdapat kata ”di saat anak lahir”, bukan berarti ketika lahir itu saja, tetapi juga dibahas sesaat sebelum dan sesudah kelahiran anak tersebut. Adapun aspek-aspek yang akan diuraikan adalah aspek akidah, aspek ibadah, aspek akhlak, aspek kesehatan jasmani dan rohani serta aspek sosial.


B.Aspek-aspek Pendidikan Orang Tua bagi AnakDari beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan pendidikan anak di saat lahir—termasuk juga sebelum dan sesudah kelahirannya—terdapat beberapa aspek pendidikan yang perlu dilakukan oleh kedua orang tua. Aspek-aspek pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
1.Aspek Pendidikan Aqidah
Sebelum anak lahir, orang tua perlu memahami pandangan al-Qur’an tentang anak yang berkenaan dengan aspek aqidah. Pertama, anak sebagai anugerah/pemberian dari Allah SWT. Hal ini dapat dilihat firman-Nya dalam surat asy-Syu’ara/42 ayat 49.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ
Artinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.

Dari penjelasan ayat ini, hendaklah orang tua mensyukuri kelahiran anaknya, tanpa membedakan jenis kelamin anak tersebut, apakah berkelamin laki-laki atau perempuan. Bukan justru seperti yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah yang membenci kelahiran anak perempuan, malah ada yang sanggup membunuhnya dengan menguburkan. Seperti yang tergambar dalam firman Allah surat an-Nahl/16 ayat 58-59:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ

Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

Selain merasa hina, ada pula yang membenci dan membunuh anaknya hanya karena takut miskin. Firman Allah dalam surat al-Isra’/17 ayat 31:
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Membunuh atau membenci anak hanya karena takut miskin adalah dosa besar. Al-Maraghi menyimpulkan bahwa membunuh anak-anak, bila sebabnya karena takut melarat, berarti berburuk sangka terhadap Allah.

Kedua, sebagai perhiasan kehidupan dunia (zīnat al-hayāt al-dunya). Mengenai hal ini terdapat dalam beberapa surat, di antaranya surat al-Kahfi/18 ayat 46:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Ayat di atas menamai harta dan anak sebagai (زينة) zīnah, yakni hiasan atau sesuatu yang dianggap baik dan indah, sebab ada unsur keindahan pada harta di samping manfaat. Demikian juga pada anak, di samping anak dapat membela dan membantu orang tuanya. Penamaan keduanya sebagai zīnah/perhiasan jauh lebih tepat daripada menamianya (قيمة) qimah/sesuatu yang berharga. Sebab kepemilikan harta dan kehadiran anak tidak dapat menjadikan seseorang berharta atau menjadi mulia.. Kemuliaan dan penghargaan hanya diperoleh melalui iman dan amal shaleh. Ahzami Sami’in Jazuli menyebutkan bahwa anak yang termasuk kategori az-zinah menunjukkan bahwa anak hanya sebagai sarana, bukan tujuan.

Ayat ini juga menegaskan bahwa harta dan anak disetarakan sebagai perhiasan dunia. Terlebih lagi ketika anak yang dimilikinya berprestasi atau sukses dalam hal duniawi. Oleh karenanya, setiap orang yang hidup di dunia selalu menginginkan harta dan anak. Namun, ada sebagian orang yang terlalu bangga dan menimbulkan kecongkakan ketika memiliki anak tersebut.

Ketiga, sebagai fitnah. Hal ini bisa dilihat dalam surat al-Anfal/8 ayat 28:
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Fitnah dalam ayat di atas tentu tidak sama dengan pengertian fitnah yang banyak dikenal dalam bahasa Indonesia, sebab istilah fitnah sering dipahami sebagai istilah yang sinonim dengan istilah yang digunakan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 1:
...وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ...
Artinya: ... dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan…
Sedangkan istilah fitnah dalam ayat tentang anak di atas adalah ujian atau cobaan. Salman Harun malah mengartikannya sebagai bencana. Artinya, jika anak tidak didik oleh orang tuanya dengan baik, maka anak bisa menjadi sumber bencana bagi orang tuanya.

Sementara Quraish Shihab menerjemahkan kata fitnah (فتنة) sebagai ujian. Lalu ia mengutip pendapat Thahir Ibn ‘Asyur yang mengatakan bahwa arti fitnah adalah “kegoncangan hati serta kebingungannya akibat adanya situasi yang tidak sejalan dengan siapa yang menghadapi situasi itu.” Karena itu ulama ini menambahkan makna sabab (penyeab) sebelum kata fitnah yakni harta dan anak-anak dapat menggoncangkan hati seseorang. Ulama ini kemudian memberikan contoh dengan keadaan Rasul SAW, yakni saat ketika beliau sedang melakukan khutban Jum’at, tiba-tiba cucu beliau Sayyidina al-Hasan dan Sayyidina al-Husain, r.a. datang berjalan terbata-bata, terjatuh lalu berdiri. Maka Rasulullah SAW turun dari mimbar dan menariknya lalu beliau membaca “Innamā Amwālukum Wa aulādukum fitnah” dan bersabda: “Aku melihat keduanya dan aku tidak sabar” Kemudian setelah itu beliau melanjutkan khutbah beliau.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab mengemukakan:
Anak menjadi cobaan bukan saja ketika orang tua terdorong oleh cinta kepadanya sehingga ia melanggar, tetapi juga dalam kedudukan anak sebagai amanat Allah SWT. Allah menguji manusia melalui anaknya, untuk melihat apakah ia memelihara secara aktif, yakni mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak agar menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, yakni menjadi hamba Allah sekaligus sebagai khalifah di dinia. Mengabaikan tugas ini, adalah salah satu bentuk pengkhianatan terhadap Allah dan amanat yang dititipkanya kepada manusia.

Jadi, jika ayat pertama tentang anak sebagai zīnah di atas dipahami sebagai sesuatu yang “manis” atau menyenangkan dalam konteks duniawi, dalam ayat kedua ini anak justru bisa berkedudukan sebagai sesuatu yang “pahit” atau tidak menyenangkan. Bahkan dalam surat at-Taghābun/64 terdapat dua ayat berturut-turut dimana pada ayat ke-14 dijelaskan bahwa anak-anak itu bisa menjadi musuh, sedangkan pada ayat ke-15 baru kemudian disebut sebagai fitnah. Tampaknya, kedua ayat tersebut diturunkan secara berututan agar lebih mendapat perhatian. Asbab al-Nuzūl dari ayat ini berkenaan dengan suatu kaum dari ahli Mekah yang masuk Islam, akan tetapi isteri-isteri dan anak-anak mereka menolak untuk hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah. Sesampainya di Madinah mereka melihat kawan-kawannya yang telah mendapat banyak pelajaran dari Nabi SAW. Karenanya kemudian mereka bermaksud untuk menyiksa isteri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang untuk berhijrah, maka tutunlah ayat ke-14 ini yang menegaskan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (H.R. Tirmidzi dan Hakim dari Ibnu Abbas). Dengan demikian, anak juga bisa menjadikan seseorang melakukan penyimpangan, sebagaimana ahli Mekah yang awalnya merasa terhalang oleh anak dan isterinya yang tidak mau hijrah.

Keempat, anak sebagai al-La’b wa al-Lahwu (permainan dan senda gurau). Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Hadid/57 ayat 20:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Jika dilihat dari makna dasarnya, la’ib diterjemahkan sebagai permainan, digunakan oleh al-Qur’an dalam arti suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar dalam arti membawa manfaat atau mencegah mudharat. Ia dilakukan tanpa tujuan, bahkan kalau ada hanya untuk menghabiskan waktu. Sedangkan lahwu adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan kelengahan pelakunya dari pekerjaan yang bermanfaat atau lebih bermanfaat dan penting dari pada yang sedang dilakukannya itu. Quraish Shihab berpendapat bahwa kondisi kehidupan seperti ini bukan dialami oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, sebab bagi mereka kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Tetapi orang yang menjadikan dunia—termasuk anak—sebagai la’ib dan lahwu adalah orang yang lalai atau lengah. Jelasnya, anak bisa membuat seseorang lengah atau lalai dalam kehidupannya.

Dari penjelasan di atas, maka orang tua seharusnya bersyukur dan gembira menyambut kelahiran seorang anak, baik berkelamin laki-laki maupun perempuan. Ketika menyadari bahwa anak adalah anugerah dari Allah SWT, maka janganlah menyia-nyiakan atau membenci anak tersebut.

Dengan meyakini bahwa anak adalah anugerah-Nya dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh anak, maka Allah SWT mengingatkan jangan sampai seseorang lalai/lengah dalam mengingat-Nya (dzikir) hanya karena kehadiran anak tersebut. Firman-Nya dalam surat al-Munāfiqun/63 ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.

Berkenaan dengan kedudukan anak sebagai perhiasan dunia, maka jangan pula cinta orang tua kepada anaknya melebihi cintanya kepada Allah SWT. Jika orang tua lebih mencintai anaknya dari pada Allah, maka adzablah yang akan diterimanya. Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah/9 ayat 24:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Artinya: Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Adanya kata-kata fasik di akhir ayat di atas menunjukkan bahwa jika seseorang lebih mencintai anaknya dari pada Allah, maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang fasik. Quraish Shihab menyebutkan bahwa ayat ini bukan berarti melarang mencintai keluarga atau harta benda. Sebab, cinta kepada anak merupakan naluri manusia, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ali Imran/3 ayat 14. Hanya saja ayat ini mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada hal-hal tersebut melampaui batas sehingga menjadikan ia yang dipilih sambil mengorbankan kepentingan agama. Tegasnya, jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salah satunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat menjatuhkan pilihan.

Ketika kehadiran anak tetap membuat seseorang istiqamah mengingat Allah dan cintanya kepada anak tidak melebihi dari cintanya kepada Allah yang menganugerahkan anak tesebut, maka orang tua harus menyadari bahwa ia berkewajiban untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang beriman dan taat kepada Allah SWT.

Sadar akan kewajiban tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan orang tua di saat anak lahir. Pertama, sebelum anak lahir, hendaklah orang tua berdoa kepada Allah agar dianugerahkan anak shaleh. Doa ini pernah dilakukan Nabi Ibrahim a.s. dimana doa tersebut diabadikan dalam al-Qur’an surat as-Shaaffat/37 ayat 100:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.

Sesudah anak lahir, doa agar anak tersebut tetap beraqidah yang benar hendaknya tetap dimohonkan, sebagaimana juga yang menjadi doa Nabi Ibrahim a.s. ketika mengantarkan anaknya, Isma’il ke Mekah yang ketika itu masih berupa gurun pasir yang masih gersang. Doa ini pun dikisahkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim/14 ayat 35-36:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ.

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.

Permohonan Nabi Ibrahim a.s. ini ditujukan agar kiranya fitrah kesucian yang dianugerahkan Allah dalam jiwa setiap manusia dan yang intinya adalah Tauhid, maka bermohonlah supaya fitrah tersebut terus terpelihara. Hendaknya mereka tidak terjerumus kepada penyembahan berhala atau mempersekutukan Allah.

Kedua, di saat anak lahir, hendaklah orang tua bersyukur kepada Allah SWT. Rasa syukur itu pernah diungkapkan oleh Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana yang termaktub dalam surat Ibrahim/14 ayat 39:
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاء.
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do'a.

Ucapan syukur ini juga dilakukan oleh Rasulullah SAW. Suatu riwayat mengisahkan bahwa bila ada keluarga Aisyah r.a. yang melahirkan, maka Rasulullah tidak bertanya, “Apakah laki-laki atau perempuan?” Beliau hanya berkata, “Ciptaan-Nya sempurna?” Apabila dijawab, “Ya.” Beliau pun berkata, “الحمد لله رب العالمين”.
Rasa syukur yang dimaksud tentu tidak sebatas ucapan saja, tetapi dibuktikan dalam tindakan nyata. Salah satu bentuk perilaku syukur itu adalah memberikan pendidikan yang baik kepada anak tersebut sehingga kelak menjadi anak yang shaleh.

Ketiga, mengumandangkan azan dan iqamah kepada anak. Hal ini juga sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Abu Rafi’, ia berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ اْلحَسَنَ بْنِ عَلِيَّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
Artinya: Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan adzan di telinga Hasan ibn ‘Ali saat baru dilahirkan oleh ibunya, Fatimah.” (H.R. Abu Daud)

Sebelum anak diajarkan tentang berbagai ilmu pengetahuan, maka pendidikan pertama yang ditanamkan kepada anak adalah pendidikan aqidah, melalui adzan tersebut. Dengan adzan ini, diharapkan si anak mendengarkan kalimat-kalimat tauhid yang terkandung di dalamnya sehingga mampu menyentuh kalbunya.

Selain itu, hikmah adzan ini juga dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, seperti yang dikutip oleh Jamal Abdurrahman. Menurutnya, rahasia dilakukan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir mengandung harapan yang optimis agar mula-mula suara yang terdengar oleh telinga sang bayi adalah seruan adzan yang mengandung makna keagungan dan kebesaran Allah serta syahadat yang menjadi syarat utama bagi seseorang yang baru masuk Islam. Dengan demikian, tuntunan pengajaran ini menjadi perlambang Islam bagi seseorang saat dilahirkan ke alam dunia. Hal yang sama dianjurkan pula agar yang bersangkutan dituntun untuk mengucapkan kalimat tauhid ini saat sedang meregang nyawa meninggal dunia yang fana ini. Tidaklah aneh bila pengaruh adzan ini dapat menembus kalbu sang bayi dan mempengaruhinya meskipun perasaan bayi yang bersangkutan belum dapat menyadarinya.

Demikianlah aspek pendidikan aqidah yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Pendidikan aqidah tersebut dimulai sejak anak menjelang lahir, seperti do’a agar dikaruniai anak shaleh, kemudian sesaat sesudah anak lahir, orang tua perlu mensyukuri dan mengadzankannya. Selanjutnya, orang tua patut khawatir tentang aqidah anaknya di masa-masa yang akan datang. Dengan kekhawatiran itu, orang tua diharapkan tetap menekankan pentingnya pendidikan aqidah ini, sehingga ia berupaya maksimal hingga akhir hayatnya dalam mendidik anaknya agar tetap istiqamah dalam beraqidah. Dalam hal ini, orang tua patut meneladani Nabi Ya’kub a.s. yang senantiasa mengkhawatirkan aqidah anak-anaknya hingga menjelang ajal menjemputnya.

Kisah ini digambarkan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 133:
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya: Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

2.Aspek Pendidikan Ibadah
Aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir juga dapat di lihat dari aspek ibadah. Sebelum anak lahir, sebaiknya ibu meningkatkan ibadahnya kepada Allah SWT. Ketika si ibu meningkatkan ibadahnya—seperti membaca al-Qur’an, mendirikan shalat-shalat sunnah, dan sebagainya—maka secara psikologis, si ibu akan memperoleh ketenangan batin. Suasana ketenangan batin tersebut tentu akan berpengaruh pula terhadap janin yang sedang di kandungnya.

Setelah anak lahir, aspek pendidikan ibadah pun tetap diperhatikan. Di antara aspek pendidikan ibadah yang perlu dilakukan oleh orang tua sesudah anak lahir adalah: pertama, mendoakan anak agar kelak menjadi anak yang taat dalam beribadah kepada Allah SWT. Doa ini pernah dimohonkan Nabi Ibrahim a.s. seperti yang dijelaskan dalam surat Ibrahim/14 ayat 40-41:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء. رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

Artinya: Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do'aku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".

Ayat ini memang berkenaan dengan doa Nabi Ibrahim a.s. ketika menempatkan anaknya di Mekah demi terwujudnya lingkungan yang aman untuk mendidik anak-anaknya. Akan tetapi dalam ayat ini terlihat jelas bahwa Nabi Ibrahim a.s. berdoa agar anaknya diberi hidayah oleh Allah sehingga mereka tetap taat beribadah kepada Allah SWT, khususnya dalam mendirikan shalat.

Kedua, menyeru anak beribadah, khususnya shalat, ketika mengumandangkan adzan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya pada aspek pendidikan aqidah, orang tua sangat dianjurkan untuk mengumandangkan adzan. Dalam adzan, aspek pertama yang ditanamkan adalah aspek aqidah. Namun, di dalamnya juga terdapat seruan “hayya ‘ala as-Shalah” (حي على الصلاة). Seruan inilah yang termasuk kepada aspek pendidikan ibadah di saat anak lahir. Meskipun si bayi belum mampu memahami seruan tersebut, akan tetapi seruan untuk shalat sejak dini itu diperlukan untuk menyentuh kalbunya.
Dengan adanya doa dan seruan shalat dalam adzan tersebut, diharapkan kelak si anak mudah dididik untuk mendirikan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Sebab, di usia selanjutnya, khususnya ketika si anak mencapai usia tujuh tahun, Rasulullah SAW memerintahkan agar orang tua mendidiknya untuk shalat. Jika mereka telah sampai usia sepuluh tahun dan tidak juga mendirikan shalat, maka orang tua dapat “memukul”-nya. Sehubungan dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:
عَلِّمُوْا الصَّبِيَّ الصَّلاَةَ ابْنَ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ

Artinya: Ajarilah anak shalat oleh kalian sejak usia tujuh tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia sepuluh tahun. (H.R. Tirmidzi)

Hadis ini memang terkesan pendidikan berbau “anarkis”, sebab ada kata-kata (وَاضْرِبُوْهُ)/pukullah jika si anak tidak juga shalat dalam usia sepuluh tahun. Maksud memukul di sini tentu terlebih dahulu telah dibimbing dengan penuh kasih sayang yang dimulai—paling lambat—sejak usia tujuh tahun. Jika selama tiga tahun juga si anak masih enggan juga shalat, maka orang tua boleh “memukul”-nya. Namun kata-kata “memukul” tidak harus dalam bentuk pukulan fisik, tetapi bisa dilakukan dengan bermacam cara yang bersifat mendidik sehingga anak tersebut mendirikan shalat. Dengan kata lain, upaya ini dikenal dalam konsep pendidikan Islam sebagai metode tarhib atau punishment/hukuman sebagai bentuk reinforcement yang negatif. Dalam teori pendidikan Islam, metode ini memang bisa dilakukan, tetapi dalam penerapannya harus dengan tepat dan bijak. Jadi, apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW ini bukanlah sebagai bentuk kekerasan dalam pendidikan.

3. Aspek Pendidikan Akhlak
Aspek akhlak merupakan buah dari aqidah dan ibadah seseorang. Bisa juga dikatakan bahwa salah satu indikator baik tidaknya aqidah dan ibadah seseorang adalah dilihat dari akhlak yang ditampilkannya. Demikian pentingnya aspek akhlak ini, maka orang tua juga memiliki peran penting dalam mendidik akhlak anak sejak anak tersebut dilahirkan.

Adapun yang termasuk aspek pendidikan akhlak dari orang tua di saat anak lahir adalah: pertama, memberikan nama yang baik. Pemberian nama kepada anak tentu tidak hanya sekedar simbol atau identitas seseorang, namun dalam perspektif pendidikan Islam, pemberian nama tersebut mengandung doa. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar memberikan nama yang baik kepada anak dengan harapan kelak kepribadiannya juga baik sebagaimana yang terkandung dalam makna nama tersebut. Mengenai memberikan nama kepada anak, al-Qur’an juga menceritakan tentang istri Imran yang memberi nama anaknya dengan nama Maryam. Kisah itu terdapat dalam surat Ali Imran/3 ayat 36:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنثَى وَاللّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وِإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya: Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan. dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu. dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penggalan ayat “Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam” menunjukkan kebolehan menamai anak pada hari kelahirannya, sebab pemberian nama sudah disyariatkan sejak dulu, dan dikisahkan sebagai ketetapan. Dalam Sunnah juga ditegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
وُلِدَلِيْ اللَّيْلَةَ وَلَدٌ سَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
Artinya: Tadi malam putraku lahir, maka kunamai dia dengan nama bapakku, Ibrahim”.

Mengenai waktu pemberian nama, juga terdapat hadis lain yang menerangkan bahwa nama diberikan saat anak berusia seminggu, bersamaan dengan penyembelihan akikah. Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنٌ بِعَقِيْقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ.
Artinya: setiap anak itu digadaikan dengan akikahnya. Disembelihkan (hewan) baginya pada hari ketujuh (dari kelahiran)nya, diberi nama dan dicukur pada hari itu pula.

Menurut Nashih Ulwan, hadis-hadis ini menunjukkan bahwa pemberian nama boleh dilakukan pada hari pertama setelah kelahiran anak, boleh diakhirkan hingga hari ketiga, dan boleh pula diakhirkan hingga hari akikah, yaitu hari ketujuh, dan boleh pula sebelum hari-hari tersebut atau bahkan sesudahnya.

Selain dari waktu pemberian nama, ayat di atas juga mengandung makna pentingnya memberi nama yang baik dan mengandung doa atau harapan. Dengan nama itu diharapkan menggambarkan perilaku anak kelak di kemudian hari. Dalam hal ini Quraish Shihab menafsirkan penggalan ayat di atas dengan menulis, “...sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam, yakni seorang yang taat, dengan harapan kiranya nama itu benar-benar sesuai dengan kenyataan...”

Kedua, memohon perlindungan dari Allah SWT agar anak memiliki akhlak yang baik dan terhindar dari godaan setan. Sebagaimana yang diketahui bahwa setan senantiasa berupaya menjerumuskan manusia dengan berbagai cara bujuk rayunya. Oleh karena itu, orang tua seyogiyanya memohon perlindungan kepada Allah agar anak yang baru lahir terhindar dari godaan setan tersebut. Doa ini juga terlihat jelas dalam surat Ali Imran/3 ayat 36 di atas tentang pernyataan istri Ali ‘Imran saat melahirkan Maryam, “..dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."

Doa perlindungan ini perlu dilakukan orang tua. Bahkan Islam menuntun agar permohonan ini dilakukan jauh sebelum anak dilahirkan, tepatnya ketika suami istri melakukan hubungan suami istri. Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا فَيُوْلَدُ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فَلاَ يُصِيْبُهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا

Artinya: Manakala seseorang di antara kalian sebelum menggauli istrinya terlebih dahulu mengucapkan: bismillāhi allāhumma jannibna asys-yaithāna wa jannibi asys-yaithāna mā razaqtanā (dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, hindakanlah kami dari gangguan setan dan hindarkan pula anak yang akan Engkau anugerahkan kepada kami dari gangguan setan), kemudian dilahirkan daeri keduanya seorang anak, niscaya selamanya setean tidak akan dapat mengganggunya. (H.R. Muttafaq ‘alaihi)

Setelah bayi lahir, mohon perlindungan Allah agar anak terhindar dari godaan syetan pun tetap dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh istri Imran pada ayat di atas. Sebab terdapat penjelasan dalam hadis Rasulullah SAW tentang adanya gangguan setan saat anak lahir. Salah satu di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مَامِنْ بَنِي آدَمَ مَوْلُوْدٌ إِلاَّ يَمَسُّهُ ألشَّيْطَانُ حِيْنَ يُوْلَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ غَيْرَ مَرْيَمَ وَابْنِهَا
Artinya: Tiada seorang anak Adam pun yang baru dilahirkan, melainkan setan menyentuh saat kelahirannya hingga ia menangis karena sentuhan setan itu, kecuali Maryam dan putranya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya, Abu Hurairah r.a. mengatakan, “jika kalian suka, maka bacalah....(Q.s. Ali Imran/3 ayat 36 di atas).

Jadi, agar bayi yang lahir tidak diganggu oleh setan, maka hendaklah kita berdoa kepada Allah SWT. Selain doa, Jamal Abudur Rahman menyebutkan adzan yang dikumandangkan sesaat sesudah anak lahir juga mengandung beberapa hikmah, salah satu di antaranya adalah agar setan menjauh dari si anak tersebut.

4. Aspek Pendidikan Kesehatan Jasmani dan Rohani
Setiap orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Tanggung jawab ayah ibu tidak hanya sebagai orang tua jasmani, tetapi juga sebagai orang tua rohani (murabbi). Untuk itu, kedua orang tua perlu memperhatikan aspek pendidikan kesehatan jasmani dan rohani sejak anak lahir, bahkan ketika ia masih dalam kandungan sehingga tanggung jawab tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Adapun tuntunan al-Qur’an tentang kesehatan jasmani dan rohani adalah: pertama, perintah kepada seorang ibu untuk menyusui anaknya, seperti dalam surat al-Baqarah/2 ayat 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah/2: 233)

Quraish Shihab menjelaskan, kata (الوالدات) al-wālidāt dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan kata (أمهات) ummahāt yang merupakan bentuk jamak dari kata (أم) umm. Kata ummahāt digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedangkan kata al-wālidāt maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Hal ini berarti al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung atau bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun, susu ibu kandung tentu lebih baik. Dengan menyusu pada ibu kandung, maka anak akan merasa lebih tentram, sebab penelitian ilmiah menunjukkan bahwa ketika itu bayi mendengar detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda antara satu perempuan dengan perempuan lain.

Dalam ayat di atas juga disebutkan bahwa penyusuan itu sempurna dalam dua tahun. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Meskipun dalam ayat ini berbentuk perintah, tetapi bukan suatu kewajiban. Ini dapat dipahami dari penggalan ayat yang menyatakan bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Namun demikian, ini adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Adapun masa penyusuan tidak harus selalu 24 bulan, karena dalam Q.S. al-Ahqaf/46 ayat 15 dinyatakan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin dalam rahim selama sembilan bulan, maka masa penyusuan hanya dua puluh satu bulan, sedangkan jika janin dikandung hanya enam bulan, maka masa penyusuannya 24 bulan.

Lebih lanjut Quraish Shihab menyimpulkan ayat di atas terdapat tiga tingkat penyusuan; pertama, tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari masa tingkat sempurna; ketiga, masa yang tidak cukup kalau enggan berkata “kurang” dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu yang enggan menyusui anaknya. Jika orang tuanya sakit, atau karena alasan lainnya yang tidak memungkinkan si ibu menyusui, maka ayat di atas juga menjelaskan agar disusukan kepada perempuan lain dengan upah yang disiapkan oleh sang suaminya.

Dengan adanya perintah menyusui ini, maka dapat dipahami bahwa air susu ibu mengandung unsur kesehatan jasmani dan rohani. Dari segi jasmani, air susu ibu (ASI) memiliki manfaat yang amat banyak bagi kesehatan. Dalam buku child development oleh Laura E Berk (2003) menjelaskan beberapa alasan mengapa ibu harus menyusui anaknya, yaitu: 1) ASI menyediakan keseimbangan lemak dan protein yang tepat; 2) ASI menjamin nutrisi yang lengkap; 3) ASI membantu menjamin pertumbuhan fisik yang sehat; 4) ASI melawan banyak penyakit; 5) ASI mampu mentransfer zat antibodi dan zat-zat yang mencegah timbulnya infeksi dari sang ibu kepada bayinya. ASI juga dapat mempertinggi fungsi imunitas (kekebalan) tubuh bayi; 6) ASI menjamin sistem pencernaan; 7) ASI melindungi dari kegagalan perkembangan rahang dan kerusakan gigi, sebab mengisap puting susu ibu ternyata bisa membantu menghidari malocclusion, yaitu kondisi di mana rahang bawah dan atas tidak bertemu secara tepat; 8) Bayi yang diberi ASI lebih mudah berpindah ke makanan yang padat daripada bayi yang diberi susu botol; dan 9) Secara psikologis, ASI juga meningkatkan perkembangan attachment (kasih sayang) antara ibu dan anak.

Penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa perkembangan kemampuan otak pada bayi yang diberi ASI lebih baik daripada bayi lain. Penelitian pembandingan terhadap bayi yang diberi ASI dengan bayi yang diberi susu buatan pabrik oleh James W. Anderson – seorang ahli dari Universitas Kentucky – membuktikan bahwa IQ [tingkat kecerdasan] bayi yang diberi ASI lebih tinggi 5 angka daripada bayi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak memberikan manfaat pada IQ.

Lalu mengapa harus dua tahun? Itu tidak lepas dari kenyataan bahwa dua tahun pertama usia sang bayi merupakan masa di mana otak dan tubuhnya berkembang dengan cepat. Di masa itu, 25% dari kalori makanan yang ada di tubuh mereka digunakan untuk pertumbuhannya. Maka sang bayi membutuhkan kalori ekstra untuk menjaga perkembangan fungsi organ-organ tubuhnya. Karena itulah diperlukan nutrisi yang tepat untuk mengimbangi perkembangan tersebut. Dan itu semua sudah disediakan Allah dalam Air Susu Ibu (ASI).

ASI juga berpengaruh terhadap kesehatan rohani anak. Hamka dalam menafsirkan ayat di atas mengisahkan tentang riwayat Imam al-Haramain, ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, guru dari Imam al-Ghazali. Ayah dari Imam al-Haramain ini bernama Abu Muhammad al-Juwaini. Kerja al-Juwaini ketika mudanya menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah dari usaha itu sehingga dengan upah itu ia menikahi seorang perempuan yang shalehah. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik. Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara bayinya menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan tetangganya yang kasihan mendengar tangisan anak itu lalu mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan itu pergi. Lalu al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sampai anak itu memuntahkan air susu perempuan lain. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.”

Anak itulah yang kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Maka berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”

Selain itu, ASI juga bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental anak. "Bayi yang disusui, tidak terlalu terpengaruh oleh perceraian atau perpisahan orangtuanya, mereka juga tidak mudah gelisah dan cemas," kata Dr Scott Montgomery, ahli epidemiologi di Karolinska Institute Swedia. Montgomery dan timnya meneliti bagaimana bayi berusia 10 tahun yang diberi ASI dan yang diberi susu formula menghadapi stres akibat masalah perkawinan orangtuanya. Sekitar 9000 bayi menjadi responden penelitian ini. Mereka dimonitor sejak lahir sampai masuk sekolah. Guru-guru di sekolah juga ditanyai tentang tingkat kegelisahan anak-anak tersebut dalam skala 0-50. Ternyata anak yang dulunya mendapat ASI bisa menghadapi masalah dan stres lebih baik dibandingkan yang tidak mendapat ASI.

Demikianlah pentingnya peran seorang ibu dalam menyusukan anaknya. Jika si ibu memang sakit, seperti yang diungkapkan dalam ayat di atas, maka dibolehkan menyusukan kepada perempuan lain dengan upah yang layak. Kemudian perlu pula memilih dan menentukan perempuan yang taat dan baik akhlaknya, seperti yang dilakukan oleh Aminah saat menyusukan anaknya Muhammad di waktu bayi.

Kedua, memberi anak makanan yang halal lagi baik. Bahkan ketika janin dalam kandungan, seorang ibu harus memakan makanan yang halal lagi baik. Jika orang tua memberi makanan yang haram, maka kesehatan si anak akan terganggu, baik secara fisik terutama rohaninya.

Mengenai pentingnya makanan halal lagi baik ini ditemukan beberapa ayat dalam al-Qur’an. Salah satu di antaranya adalah surat al-Baqarah/2 ayat 168:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.s. al-Baqarah/2: 168)

Ayat ini menyeru semua manusia di muka bumi, tidak hanya khusus kepada orang-orang yang beriman saja, agar memakan makanan yang halal lagi baik. Perintah ini menyangkut tentang kesehatan jasmani, demikian pula kesehatan rohani.

Larangan makanan yang haram sesungguhnya ada tujuan yang baik untuk menghindari suatu penyakit dan untuk menjauhkan bahaya dari manusia. Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni memakannya tidak dilarang oleh agamanya. Makana yang haram ini ada dua macam, yaitu haram dari segi zatnya, seperti babi, anjing, bangkai, dan darah; dan ada pula haram karena sesuatu yang bukan dari zatnya, misalnya makanan yang dicuri, hasil korupsi, dan sebagainya. Makanan yang halal dimaksud adalah makanan yang tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut.

Namun, tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena dinamai halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Aktivitas pun demikian. Ada aktivitas yang walaupun halal, namun makruh atau sangat tidak disukai oleh Allah, seperti perceraian. Selanjutnya tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Bisa jadi makanan jenis A sesuai untuk kesehatan si B, tetapi tidak cocok dengan si C. Makanan yang sesuai itulah yang baik. Jadi al-Qur’an mengajarkan makanlah yang halal lagi baik.

Kemudian, makanan atau aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan jasmani, sering kali digunakan setan untuk memperdaya manusia, karena itu lanjutan ayat ini mengingatkan, ”dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” Setan mempunyai jejak langkah. Ia menjerumuskan manusia langkah demi langkah, atau tahap demi tahap. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa menyadari keberadaan setan yang harus diwaspadi sehingga tidak terperdaya dari tipu dayanya.
Perlu juga ditegaskan bahwa makanan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan jasmani seseorang, tetapi juga akan berpengaruh terhadap jiwa atau kesehatan rohaninya. Jika dzat makanan itu halal, tetapi cara memperolehnya haram, maka jasadnya bisa jadi akan sehat, tetapi rohaninya akan rusak. Tegasnya, makanan yang haram adalah racun bagi perkembangan ruhani seseorang.

Pengaruh makanan terhadap kesehatan jiwa atau rohani juga disinggung oleh Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an. Dalam hal ini ia mengutip pendapat Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown dengan menuliskan:
Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan.

Ketiga, menggosok langit-langit mulut anak setelah dilahirkan. Selain dari yang diinformasikan dalam al-Qur’an, berkenaan dengan kesehatan jasmani dan rohani ini juga dijelaskan dalam Sunnah nabi, yaitu menggosok langit-langit mulut bayi tersebut. Caranya mengunyah kurma dan menggosokkannya ke langit-langit mulut anak yang baru dilahirkan. Hal ini dilakukan dengan menaruh sebagian kurma yang telah dikunyah di atsa jari dan memasukkan jari itu ke kiri dengan gerakan yang lembut, hingga merata.
Di antara hadis yang berkenaan dengan hal ini adalah hadis dari Abu Burdah r.a.:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: وُلِدَ لِيْ غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمَ وَحَنَكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَالَهُ بِاْلبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ

Artinya: Bahwa Abu Musa r.a. berkata, “Aku telah dikaruniai seorang anak. Kemudian aku membawanya kepada Nabi Muhammad SAW, lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok langit-langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendoakannya dengan keberkahan. Setelah itu beliau menyerahkannya kembali kepadaku”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Menurut Nashih Ulwan, hikmah yang dikandung dalam Sunnah ini adalah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan tenggorokan dengan gerakan lidah dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menetek dan menghisap susu secara kuat dan alami. Lebih utama penggosokan ini dilakukan oleh orang yang memiliki sifat takwa dan saleh sebagai suatu penghormatan, dengan harapan semoga si anak juga menjadi orang yang shaleh dann takwa pula.


5. Aspek Pendidikan Sosial
Al-Qur’an juga mengisyaratkan pentingnya aspek pendidikan sosial di saat anak lahir. Adapun surat yang menjelaskan tentang hal ini adalah surat Hud/11 ayat 69-71:
وَلَقَدْ جَاءتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُـشْرَى قَالُواْ سَلاَماً قَالَ سَلاَمٌ فَمَا لَبِثَ أَن جَاء بِعِجْلٍ حَنِيذٍ. فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لاَ تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُواْ لاَ تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ. وَامْرَأَتُهُ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَاء إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ.

Artinya: Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-maaikat) yang diutus kepada kaum Luth." Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub. (Hud/11: 69-71)

Ayat ini menjelaskan bahwa salam yang dianjurkan dalam al-Qur’an bukan saja yang serupa dengan salam yang disampaikan oleh pihak lain, tetapi yang lebih baik. Ini antara lain terlihat dalam jawaban Nabi Ibrahim a.s. di atas. Ucapan malaikat (سلاما) salaman di sini mengandung makna kami mengucapkan salam. Sedangkan jawaban Ibrahim dengan kata (سلام) salam bermakna keselamatan mantap dan terus-menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik. Bahkan, dalam yat di atas, bukan saja sekedar doa dan sambutan yang lebih baik, tetapi disertai dengan jamuan makan yang sangat lezat, walaupun tentunya para malaikat itu tidak memakannya, sebab malaikat ketika itu datang menyerupai manusia.

Menurut Nashih Ulwan, ayat ini merupakan landasan pentingnya memberikan ucapan selamat dan rasa turut gembira ketika seseorang melahirkan. Artinya, ucapan selamat itu berasal dari orang-orang sekitar kepada orang tua yang baru memperoleh anak. Namun, dalam konteks ayat di atas tampak bahwa ketika Nabi Ibrahim a.s. mendapat salam dari malaikat yang datang menyerupai manusia, ia jawab salam itu lalu ia hidangkan makanan. Agaknya, dalam hal ini orang tua perlu membuat acara semacam syukuran dengan menjamu saudara-saudara lain jika memang orang tua tersebut mampu. Kegiatan ini juga relevan dengan anjuran nabi untuk membuat akikah sekaligus mencukur rambut anak.

Sebagaimana yang telah dikutip hadis sebelumnya, bahwa ketika bayi berusia tujuh hari, maka berilah nama, sembelih akikah, dan cukurlah rambutnya. Akikah dan mencukur rambut ini mengandung aspek pendidikan sosial. Akikah, misalnya, dagingnya akan disedekahkan kepada orang miskin, karib kerabat dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, Nashih Ulwan menyebutkan beberapa hikmah dari disyariatkannya akikah, di antaranya: akikah akan memperkuat tali ikatan cinta di antara anggota masyarakat. Sebab mereka akan berkumpul di meja-meja makan dengan penuh kegembiraan menyambut kedatangan anak yang baru. Akikah juga dapat memberikan sumber jaminan sosial baru dengan menerapkan dasar-dasar keadilan sosial dan menghapus gejala kemiskinan di dalam masyarakat.

Demikian juga tentang mencukur rambut anak. Jika orang tuanya sanggup, sebaiknya rambut anak itu ditimbang seberat perak lalu disedekahkan kepada orang yang berhak. Rasulullah SAW bersabda:
وَزَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا شَعْرَ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَزَيْنَبَ وَأُمِّ كُلْثُوْمُ فَتَصَدَّقَتْ بِزِيْنَةِ ذَلِكَ فِضَّةً
Artinya: “Fathimah telah menimbang rambut kepala Hasan, Zainab, dan Ummu Kaltsum. Seberat timbangan rambut itulah ia mengedekahkan perak.”

Masih menurut Nashih Ulwan, mencukur dengan cara ini juga mengandung hikmah, di antaranya adalah terwujudnya kemaslahatan sosial, di mana bersedekah sebanyak perak sesuai berat rambut anak tersebut merupakan salah satu sumber lain bagi jaminan sosial. Hal ini merupakan suatu cara untuk mengikis kemiskinan dan suatu bukti nyata adanya tolong menolong dan saling mengasihi di dalam pergaulan masyarakat.

Jadi, akikah dan mencukur rambut lalu bersedekah perak—ada ulama yang berpendapat dengan emas—seberat rambut itu mengandung aspek sosial yang dilakukan oleh orang tua di saat anak lahir. Selain dari hikmah sebagaimana yang dijelaskan di atas, Sunah ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak kelak. Dengan kepedulian sosial yang tinggi dari orang tua di saat kelahirannya, diharapkan ia memperoleh hidayah dari Allah SWT kelak menjadi anak yang tinggi pula rasa solidaritas sosialnya sehingga ia tidak hanya mampu mengabdi secara vertikal (habl minallah), tetapi juga mampu menjalin hubungan horizontal (habl minnnas) secara seimbang.

C. Penutup
Dari uraian tentang aspek-aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir di atas, dapat dipahami bahwa peran orang tua sebagai pendidik (murabbi) sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya di masa akan datang. Oleh karena itu, orang tua harus menyadari peran tersebut dan memahami pula hakikat anak yang dianugerahkan Allah kepadanya. Anak bukan sekedar perhiasan (zinah), tetapi anak adalah amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk mendidiknya menjadi anak yang shaleh. Anak juga merupakan sebagai fitnah atau ujian. Jika orang tua mengabaikan amanah tersebut, maka jadilah ia sebagai orang yang lengah/lalai. Begitu pula tentang anak sebagai fitnah, orang tua harus mampu mendidik anaknya sehingga ujian itu dapat dilalui dengan baik seraya mendapat keberkahan dari Allah, bukan malah sebaliknya mendapat murka-Nya.

Oleh karena itu, aspek pendidikan aqidah, ibadah, akhlak, kesehatan jasmani dan rohani, serta aspek sosial sebagaimana yang telah diuraikan di atas perlu dipahami oleh orang tua. Sejak anak lahir, orang tua harus berupaya, baik dalam bentuk doa, keteladanan, atau pun menjalankan hal-hal yang telah dituntun al-Qur’an dan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya sehingga anak tersebut nantinya memiliki aqidah yang kuat, ibadah yang taat, dan akhlak yang mulia serta memiliki kesehatan jasmani rohani dan mampu menampilkan sikap sosial yang baik pula.
Untuk itu, konsep ajaran Islam tentang aspek-aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat muslim. Pihak akademisi yang memahami konsep-konsep pendidikan Islam secara teoritis hendaknya memepertegas perannya dalam membimbing umat memahami prinsip ini dengan berbagai upaya sehingga terbentuk masyarakat muslim yang berkualitas sehingga menghasilkan peradaban yang tinggi. Sebab, suatu bangsa akan maju dan diridhai berawal dari masyarakat yang maju pula. Sementara masyarakat yang maju berawal dari keluarga yang sehat, bahagia dan diridhai oleh Allah SWT. Jadi keluarga, khususnya orang tua, memiliki peran dan kontribusi yang amat besar terhadap kemajuan suatu masyarakat, bangsa dan negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar